Rabu, 16 September 2009

Bagai mana para ulama' belajar..?

Metode Pengambilan Ilmu Agama

Ilmu agama adalah bagian dari agama itu sendiri, karenanya, Islam mengatur tata cara mempelajarinya. Para ulama salaf maupun khalaf sepakat bahwa ilmu agama tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca (muthala’ah) kitab-kitab. Tetapi harus dengan belajar secara langsung (talaqqi) kepada seorang guru atau ulama yang terpercaya (tsiqah/kredibel) yang mata rantai keilmuannya bersambung sampai kepada sahabat dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, demikianlah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendapatkan ilmu. Salah seorang ulama ternama dari kalangan tabi’in, Muhammad ibn Sirin mengatakan:
“إنّ هذا العلم دين فانظروا عمّن تأخذون دينكم” رواه مسلم في مقدمة صحيحه
“Ilmu ini adalah (bagian) agama, maka teliti dan berhati-hatilah kepada siapa kalian mengambil ajaran agama kalian”
Bahkan Rasulullah sendiri juga bertalaqqi ilmu kepada malaikat Jibril. Hal ini ditegaskan di dalam al Quran, Allah ta’ala berfirman:
)علّمه شديد القوى ( (سورة النجم : 5)
Maknanya : “Dia (Nabi Muhammad) diajari oleh Malaikat yang sangat kuat (Malaikat Jibril)” (Q.S. an-Najm : 5 )
Sedangkan para sahabat, mereka belajar ilmu agama dengan bertalaqqi secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka yang berhalangan hadir dalam majelis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam karena jauh tempatnya atau sibuk, selalu menyempatkan diri bertanya kepada ulama dari kalangan sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan lain-lain. Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab mempunyai seorang teman dari kaum Anshar. Bila beliau tidak bisa hadir dalam majlis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam sedangkan temannya itu hadir, Umar selalu bertanya kepadanya mengenai hal-hal yang telah diajarkan dan dilakukan oleh Rasulullah dan begitu pula sebalinya jika temannya itu berhalangan hadir.

Pengambilan ilmu agama dengan bertalaqqi kepada seorang guru dimaksudkan untuk menjaga kemurnian pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadits. karena dengan adanya sanad (mata rantai keilmuan) yang jelas dan bersambung sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Maka tidak ada satu tanganpun yang dapat mengintervensi, merubah atau menyelewengkan pemahaman yang sebenarnya. Imam Abdullah ibn al Mubarak berkata: “Sanad adalah bagian dari agama, kalaulah tidak ada sanad maka semua orang akan berbicara dengan apa yang mereka kehendaki (dan menisbatkannya kepada Nabi)”.
Al Hafizh al Khatib al Baghdadi berkata:
لا يؤخذ العلم إلا من أفواه العلماء
“Ilmu agama tidak bisa diperoleh kecuali dari mulut para ulama”

Sebagian ulama salaf berkata: “Seseorang yang mempelajari hadits dari kitab disebut shahafy (bukan muhaddits) dan orang yang mempelajari al-Qur’an dari mushaf disebut mushhafy, tidak disebut Qari’”. Sulaiman bin Yasar juga berkata: “Janganlah kalian belajar ilmu agama kepada seorang shahafy dan janganlah kamu belajar al-Qur’an kepada seorang mushhafy”. Betapa banyak sekarang ini para shahafy dan mushhafy. Pernyataan-pernyataan ulama ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:
"من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين إنما العلم بالتعلم والفقه بالتفقه" رواه الطبراني
Maknanya: “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya suatu kebaikan, maka Allah memberikan pemahaman agama kepadanya, sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan belajar (ta’allum) dan fiqh itu dengan belajar (tafaqquh)”. (H.R. ath-Thabarani)

Di antara hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan ilmu agama adalah bahwa ilmu agama tidak bisa dan tidak mungkin dikuasai dan diperoleh seluruhnya secara langsung dalam waktu yang singkat. tetapi harus dipelajari secara bertahap (tadrijiyy / step by step). Para ulama mengatakan: “Barang siapa mempelajari suatu ilmu dengan seketika (jumlatan) maka semua itu akan hilang dengan seketika pula”. Imam al Bukhari dalam kitab Shahihnya, ketika menafsirkan ayat ( ولكن كونوا ربانيين ) berkata: “Rabbaniyyun adalah orang-orang yang mendidik dan membina masyarakat dengan mengajarkan ilmu yang sederhana sebelum ilmu yang lebih luas pembahasannya”.

Semua jenis kitab, apakah itu dalam ilmu hadits, aqidah, fiqh, nahwu dan seterusnya terdiri dari tiga tingkatan, yaitu mukhtasharat (ringkasan-ringkasan), mabsuthat (buku-buku sedang) dan muthawwalat (buku-buku besar dan yang luas bahasan-bahasannya). Sehingga dalam mempelajari ilmu agama kita juga harus memulainya dari kitab yang paling ringkas (Mukhtasharat), kemudian setelah benar-benar memahaminya kita baru berpindah ke kitab yang berukuran sedang (mabsuthat), kemudian baru yang besar dan panjang lebar pembahasannya (muthawwalat). Tidak seyogyanya seorang mempelajari kitab-kitab muthawwalat sebelum ia mempelajari kitab-kitab yang mukhtasharat.